Media Informasi Seputar pendidikan

Sunday, December 9, 2018

ARTIKEL tentang MENDIDIK SISWA TAKUT MESUM DAN NARKOBA, REPARASI MORAL ANTI KORUPSI dan AGAMA RAMAH DIALOG BUDAYA

kali ini saya men-share beberapa artikel yang ditulis dan juga sudah diterbitkan oleh beberapa media cetak koran.  penulis  artikel ini adalah M. Rikza Chamami, MSI Dosen dan Mahasiswa Program Doktor Islamic Studies Universitas Islam Negeri Walisongo. kenapa saya menshare artikel ini ??
hahahaha, iya karena iseng aja ... 
bukan karena iseng lah , saya share artikel ini karena saya sudah membaca dan sudah juga memahami dan sangat bermanfaat maka dari itu saya menularkan bahan bacaan artikel ini supaya sobat dapat manfaatnya juga dan mungkin bisa dijadikan sumber referensi  juga. 
atau sekedar untuk bahan bacaan. yang terpenting memberi manfaat bagi kita semua !!! merdeka !! salam pergerakan !!!

langsung di baca aja !! cekidot !!









 
REPARASI MORAL ANTI KORUPSI
M. Rikza Chamami, MSI
Dosen dan Mahasiswa Program Doktor Islamic Studies Universitas Islam Negeri Walisongo


Korupsi sudah dinyatakan sebagai penyakit menular yang berbahaya. Maka keberadaannya selalu dijadikan topik bahasan tentang strategi penghentian perilaku korupsi ini. Salah satunya adalah dengan pola pendidikan anti korupsi yang ditanamkan sejak dari kecil. Bahkan dunia pendidikan juga diarahkan selalu memasukkan materi pendidikan anti korupsi di semua mata pelajaran.
Dalam rangka mengawal pendidikan anti korupsi ini, maka perlu dimulai dari reparasi moral. Sebab korupsi bukan hanya penyakit birokrasi, tetapi bermula dari penyakit moral. Saat korupsi belum mendapatkan sorotan publik dan hukuman yang berat, maka tindak korupsi sudah menjadi tradisi birokrasi. Apalagi saat hukum masih bisa dibeli, maka koruptor masih melenggang dimana-mana.
Di era demokrasi semacam ini memang sudah beda. Koruptor sudah mulai “takut” dengan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi dan Undang-Undang Anti Korupsi. Jadi dibutuhkan pembelajaran secara menyeluruh kepada semua warga negara tentang bagaimana menata moral agar tidak terbiasa untuk melakukan korupsi. Selain korupsi merupakan tindak asusila menurut agama, korupsi juga menjadi sumber petaka negara. Sebab uang yang harusnya untuk rakyat, tapi hanya dimanfaatkan untuk kelompok tertentu.
Melakukan reparasi moral anti korupsi dapat dilakukan dengan model sebagaimana berikut: Pertama, membangun mental triman, qana’ah (syukur menerima apa adanya). Penyimpangan dalam hal keuangan biasanya didahului semangat ingin kaya secara instan. Maka cara yang efektif untuk mengejar ambisi itu dengan korupsi. Setiap orang yang haus kekayaan itu memanfaatkan segala cara bagaimana agar dirinya kaya—walaupun dengan cara yang tidak benar. Jadi para koruptor itu memang ingin hidup mewah dan tidak punya sifat menerima apa yang ada.
Kedua, membangun mental hemat. Hidup hemat ini penting karena tidak mengarah pada perilaku glamor dan konsumtif. Ketika pendapatan tidak sepadan dengan pengeluaran, maka ekonomi akan terganggung. Dan ketika ada peluang untuk menyimpangkan kekuasaan dengan korupsi, maka itu akan dilakukan untuk mengejar tuntutan hidup. Jadi korupsi lahir atas dorongan meninggalkan hidup hemat menjadi pola hidup konsumtif.
Ketiga, membangun mental hidup sehat. Tidak disadari bahwa hidup sehat bukan hanya terhindar dari penyakit. Tetapi hidup sehat itu juga terhidar dari perilaku korupsi. Sebab ketika orang melakukan korupsi, maka kecenderungan untuk menyendiri, menyimpan rahasia dan “terhantui kesalahan” sangat tinggi. Dan itu semua akan mengganggu psikologinya sehingga lahir penyakit-penyakit fisik sebagai dampak penyakit psikisnya.
Keempat, membangun mental tepo sliro (peduli sesama). Ketika orang sudah berani melakukan korupsi, maka yang ingin dilakukan adalah memperkaya diri sendiri. Karena prinsip yang dipegang adalah: “susah mencari dan ingin menguasai”. Oleh sebab itu, budaya korupsi akan mulai hilang jika masing-masing sadar bahwa ada tanggungjawab antar sesama yang harus dipikul. Kepedulian terhadap sesama ini akan mengurangi mental korup.
Dan kelima, membangun mental sadar hukum. Adanya korupsi didasari atas menyepelekan hukum, baik hukum agama maupun hukum negara. Dan inilah yang membuat orang berani main-main dan bahkan membuat korupsi sebagai “tradisi” karena tahu celah hukumnya. Justru yang berani melakukan korupsi adalah mereka yang kebal hukum dan tahu cara menghindari maladministrasi yang disebut korupsi.
Lima hal ini patut untuk dijadikan bahan renungan bagaimana agar masyarakat mulai sadar bahwa perilaku korupsi itu mengancam keutuhan negara. Sebab semakin banyak korupsi, maka sistem keuangan negara akan mengalami kerugian besar dan yang dirugikan adalah rakyat. Sebab rakyat yang harusnya mendapatkan perhatian justru terabaikan.
Menata mental yang demikian ini sepatutnya juga dimulai dari tingkat keluarga. Bagaimana orang tua mendidik anak-anaknya untuk prihatin, hemat, sehat, tepo sliro dan sadar hukum dalam setiap harinya. Termasuk tanggungjawab ini perlu dipikul oleh sekolah untuk menanamkan tradisi anti korupsi dengan berbagai macam materi pelajaran. Para generasi muda juga perlu dilatih cara berorganisasi yang terhindar dari semangat korupsi.
Dengan pola inilah negeri ini akan terhindar dari perilaku jahat korupsi ini. Jadi untuk membunuh penyakit korupsi perlu dimulai dari reparasi mentalnya terlebih dahulu, baru kemudian penanaman nilai anti korupsi.*)




artikel yang ke 2

Mendidik Siswa Takut Mesum dan Narkoba

M. Rikza Chamami, MSI
Dosen dan Mahasiswa Program Doktor Universitas Islam Negeri Walisongo


Mendidik anak memang butuh kesabaran ekstra. Tidak ada kata gagal dalam proses pendidikan. Maka berita “Sepuluh Pasang Pelajar Ditangkap di Losmen Usai UN” yang dimuat Jateng Pos (20 April 2015) patut dipahami secara bijaksana. Satu sisi berita ini menjadi musibah bagi dunia pendidikan. Dan di sisi lain, berita ini menjadi koreksi bersama seluruh stake holder pendidikan—bahwa perlu banyak koreksi atas pendidikan karakter di sekolah.
Siapapun akan mengatakan bahwa perilaku mesum pelajar di Losmen setelah UN itu tidak benar. Secara agama, tindakan itu jelas-jelas keluar dari norma karena hubungan intim dilakukan tanpa ikatan pernikahan. Dalam kontek etika juga sangat tidak etis karena usia muda dan orang terpelajar tapi melakukan tindak asusila. Maka peristiwa semacam ini menjadi musibah bagi dunia pendidikan.
Jika dilihat dari sisi kebahagiaan setelah UN, para pelajar yang melepas penat dengan berlibur adalah wajar. Yang tidak wajar adalah tambahan “liburan” dengan mesum. Hampir satu tahun para pelajar kelas XII didoktrin dan dijejali dengan materi-materi UN. Bahkan ada pelajar yang menambah jam belajar dengan kursus di luar. Beban UN terasa hilang ketika ujian sudah dilaksanakan setelah suasana hati gundah dan gelisah menghadapinya.
Kemungkinan besar, menikmati liburan dengan wisata selesai UN merupakan ritual yang turun temurun. Namun yang perlu dicatat adalah “kesalahan teknis” di lapangan dengan tindakan mesum itu. Maka, disinilah titik utama bahwa ada yang perlu dicari, dimana letak “trouble” pendidikan karakter di sekolah. Secara normatif, sekolah sebagai lembaga pendidikan sudah memberikan materi pendidikan agama, pendidikan budi pekerti dan bahaya pergaulan bebas. Namun di tingkat teknis, ternyata tidak semua pelajar mampu melaksanakan itu dengan baik.
Untuk meminimalisir kejadian serupa terjadi atau bahkan marak dimana-mana, perlu sekali renungan bersama dengan melakukan empat hal. Pertama, pembekalan kepada pelajar tentang UN perlu mempertimbangkan tiga konsep pembelajaran: senang, aktif dan serius. Jangan sampai suasana hati pelajar sebelum UN diciptakan tertekan dan terhantui. Kalau ini yang terjadi, banyak pelajar stres dan ingin bersenang-senang setelah UN berakhir. Suasana tray out UN perlu dibuat dengan penciptaan lingkungan belajar yang happy dan pelajar dibuat aktif.
Kedua, menjelang UN berlangsung para pelajar banyak dibekali dengan pendidikan spiritual sesuai agama masing-masing. Pelajar diwajibkan berdo’a khusus UN selesai melakukan ibadah. Sekolah juga perlu membuat acara rutin do’a bersama (istighatsah: menurut Islam) sebelum UN. Sentuhan spiritual dengan do’a agama ini akan membuat pelajar dekat dengan agamanya. Sehingga kadar keimanan dan ketaqwaan pelajar tidak kabur hanya karena stres memikirkan UN.
Ketiga, setelah UN berakhir, sekolah perlu membuat kegiatan positif yang terintegrasi dengan masa depan pelajar. Tidak salah jika sekolah membuat “wisata pasca UN” (tempat yang terdekat dan biaya murah)—agar siswa dan guru menyatu mensyukuri UN berakhir. Apalagi dengan kebijakan bahwa UN bukan satu-satunya standar kelulusan, maka sekolah bebas memberikan pendampingan pada pelajar setelah UN. Kegiatan wisata yang terkoordinir oleh sekolah ini lebih baik daripada anak-anak dibiarkan bebas tanpa kontrol.
Dan keempat, sekolah perlu kembali mengefektifkan pendidikan budi pekerti dan pendidikan agama—terutama dalam menjelaskan dosa mesum dan bahaya hamil di luar nikah. Memang selama ini pendidikan seks bagi para pelajar tidak banyak mendapatkan perhatian. Namun melihat situasi yang tidak kondusif dengan maraknya pelajar mesum hingga hamil, maka pendidikan seks perlu digalakkan kembali.
Era serba canggih sekarang menuntut banyak pendampingan dari guru kepada para pelajar. Apalagi dengan mahirnya para pelajar berselancar dengan internet. Situs internet dewasa juga masih bisa bebas diakses para pelajar. Maka sekolah juga perlu memberikan pendidikan internet sehat bagi pelajar. Bagaimana internet yang bebas itu dapat dimanfaatkan secara baik oleh pelajar dan membantu untuk meningkatkan prestasi siswa.
Hal yang paling mendesak dilakukan sekolah adalah rutin mengontrol akhlak pelajarnya. Bagaimana pelajar ini bergaul dan bermasyarakat. Jika ada indikasi pelajar sudah keluar dari norma agama dan pendidikan maka guru BP dan guru agama berperan menata akhlak pelajarnya. Termasuk disini mengantisipasi bahaya narkoba bagi para pelajar dengan melakukan tes narkoba rutin untuk pelajar dan guru. Jangan sampai pelajar dijadikan objek tes narkoba, tapi gurunya takut dites narkoba. Inilah bukti bahwa dunia pendidikan akan baik secara moral berangkat dari guru dan pelajarnya.
Kenapa narkoba penting untuk diperangi sekolah? Karena perilaku asusila banyak dimulai dari keberanian mengkonsumsi narkoba atau “belajar mabuk”. Intinya, sekolah perlu mendidik agar pelajar takut mesum dan terjauh dari bahaya narkoba.*)
 


artikel yang ke 3


AGAMA RAMAH DIALOG BUDAYA
M. Rikza Chamami, MSI
Dosen dan Mahasiswa Program Doktor Islamic Studies Universitas Islam Negeri Walisongo


Agama dan budaya merupakan dua hal yang tidak mudah dipisahkan. Agama sebagai doktrin merupakan keyakinan pribadi antara individu dengan Tuhannya. Sedangkan budaya terbentuk atas kesepakatan masyarakat dengan perilaku tertentu. Melihat fenomena agama dan budaya akhir-akhir ini yang kadang jumbuh, maka perlu sekali pencarian titik temu agama dan budaya.
Maraknya ideologi radikal sebuah agama yang terjadi di Indonesia menjadikan opini publik miring tentang agama. Sebab agama sudah dimaknai sebagai salah satu pemicu konflik sosial dan politik. Padahal agama hadir bukan untuk menciptakan konflik. Agama yang hadir sebagai pencipta konflik adalah agama yang melenceng dari perintah teologinya.
Hadirnya pengikut agama yang fanatik dan cenderung radikal itu adalah fakta dari agama yang jauh dari budaya. Kenapa demikian? Sebab agama radikal adalah cerminan dari egoisme kelompok yang menerapkan prinsip “dirinya yang paling benar”. Ketika sudah demikian, maka yang lain di luar mereka itu “salah” dan “ahli neraka”. Disitulah agama yang jauh dari budaya.
Ketika agama itu disandingkan dengan budaya, maka ada pemahaman yang lebih luas. Bahwa agama adalah urusan individu per indivudu sedangkan kumpulan dari orang yang seagama itu menjadi budaya. Dari kumpulan umat seagama itu perlu dilanjutkan dengan prinsip kerukunan beragama. Disitulah letak keseimbangan antara beragama dan berbudaya. Jika beragama dan berbudaya itu berjalan linier, maka dunia ini akan damai dan aman.
Maraknya ideologi baru ISIS (Islamic State Irak and Suria) membuat banyak orang terganggu. Citra Islam yang besar dan tercipta sebagai agama damai, luntur akibat oknum umat beragama yang menggunakan nama agama demi egoisme politik. Banyak tokoh muslim yang menyayangkan kenapa ISIS itu hadir dan menjadi musuh dunia. Yang akhirnya harus menjadikan nama Islam kembali tercoreng. ISIS dengan paham neo-khawarij ini memang selalu hidup ekslusif yang gampang menganggap yang berbeda dengan mereka “halal darahnya” dan boleh dibunuh.
Itulah fakta agama yang dipisahkan dengan budaya. Dimana-mana mereka memakai nama agama, tetapi tidak mampu memahami cipta, karya dan karsa manusia yang berbeda. Akibat perbedaan yang tidak mampu dipahami sebagai rahmat Tuhan, maka perang selalu menjadi solusi. Berarti tren agama perang dan anti dialog ini sudah menjadi pilihan bagi mereka. Budaya dialog hilang dan kabur dari ruh agama. Itu sebagai salah satu bukti bahwa radikalisme agama itu sebagai agama anti dialog budaya.
Jika pintu dialog itu terbuka, maka perang yang menjadi tradisi “perlawanan ideologi” dengan semangat “jihad” itu tidak mudah terjadi. Justru perang dengan pekik takbir “Allahu Akbar” bagi mereka menjadi semangat, seakan yang dibunuh adalah musuh agama. Padahal mereka juga dimusuhi oleh dunia. Ini menjadikan sesuatu yang sangat aneh. Oleh sebab itu, beragama dengan model ini patut dikoreksi bersama. Bahwa fanatik dalam agama itu boleh, tapi jika fanatik membabi buta itu hal yang sangat naif.
Terjadinya pola perubahan pandangan agama dari sosial menjadi individual ini secara sosiologis sangat wajar. Sebab kelompok radikal ini selalu hidup dengan sikap tertutup. Mereka didoktrin sedemikian kuat bahwa “kelompoknya” yang paling benar dan tidak mengenal toleransi. Berarti perubahan sosial ini akibat perubahan budaya internal. Dimana yang harusnya mereka bersatu padu dan memahami perbedaan, tetapi sudah diminta untuk tidak mengenal perbedaan.
Maka disinilah dibutuhkan semangat baru untuk mencari permasalahan sosial dengan perencanaan sosial (social planning) yang tepat bagi keberagamaan Indonesia. Pertama, pemerintah perlu kembali menggalakkan sosialisasi arti agama sebagai pemersatu masyarakat. Ini dapat dimulai dari kurikulum sekolah hingga perguruan tinggi dan sosialisasi pada tokoh agama. Jika ada ideologi agama yang radikal, pemerintah perlu terjun lapangan untuk melakukan pembinaan dan pelarangan.
Kedua, masyarakat secara aktif hadir sebagai pemeran agama yang pro budaya. Yang dimaksudkan adalah menjadi umat agama sekaligus warga negara yang mampu memahami gotong royong, tepo sliro, toleransi dalam garis perbedaan. Perbedaan agama bukan penghambat untuk menyatukan negeri. Justru dengan fanatisme agama yang lepas kontrol, nasionalisme Indonesia di bawah bayang-bayang perpecahan.
Ketiga, budaya berpancasila perlu kembali dibangun dengan baik. Hilangnya penataran P4 (semasa jaman Orde Baru) nampaknya mulai terasa. Masyarakat desa yang dulu selalu dijejali materi Pancasila sebelum membuat KTP seakan merasakan betapa berartinya penataran itu—sebagai sebuah materi inti kerukunan beragama. Bagi anak muda sekarang sudah tidak mendapatkan penataran itu (hanya dari materi PKn di Sekolah), maka wajar jika porsi pemahaman Pancasila sangat sedikit.
Dan keempat, masyarakat perlu lebih dewasa memaknai hakikat agama dan budaya. Jika ini dilakukan dengan baik, maka bangsa Indonesia akan baik dan tidak mudah diadu domba dengan mengatasnamakan agama. Tidak ada agama yang memerintahkan umatnya untuk berkonflik. Semua agama ingin dunia ini damai dan memperbaiki nasib rakyatnya. Jadi yang dibutuhkan hari ini adalah agama yang mampu berdialog dengan budaya—bukan agama yang tidak berbudaya.*)
 

0 komentar:

Post a Comment