nih share lagi makalah, lengkap dengan buku yang dijadikan referensinya..
semoga bermanfaat lur !!!
jangan lupa dishare juga !!!
MEMBENTUK MASYARAKAT MADANI YANG DEMOKRATIS
oleh : ardany nuril fahma (1403036034)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wacana dan praksis tentang civil society belakangan ini semakin surut. Kecenderungan ini sedikit mengherankan karena dalam “transisi” menuju demokrasi, seharusnya wacana dan praksis civil society semakin kuat, bukan melemah. Alasannya, eksistensi civil society merupakan salah satu diantara tiga prasyarat pokok yang sangat esensial bagi terwujudnya demokrasi.
Mewujudkan masyarakat madani adalah membangun kota budaya bukan sekedar merevitalisasikan adab dan tradisi masyarakat local, tetapi lebih dari itu adalah membangun masyarakat yang berbudaya agamis sesuai keyakinan individu, masyarakat berbudaya yang saling cinta dan kasih yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Ungkapan lisan dan tulisan tentang masyarakat madani semakin marak akhir-akhir ini seiring dengan bergulirnya proses reformasi di Indonesia. Proses ini ditandai dengan munculnya tuntutan kaum reformis untuk mengganti Orde Baru yang berusaha mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo menjadi tatanan masyarakat yang madani. Untuk mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikan telapak tangan. namun, memerlukan proses panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga bangsa ini untuk mereformasi diri secara total dan konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih.
Selanjutnya, wacana tentang masyarakat madani oleh banyak bangsa dan masyarakat di negara berkembang, secara antusias ikut dikaji, dikembangkan, dan di eliminasi, sebgaimana realitas empiris yang dihadapi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian masyarakat madani?
2. Apa karakterstik masyarakat madani?
3. Bagaimana peran LSM dalam situasi bermasyarakat?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian masyarakat madani
Untuk pertama kalinya masyarakat madani dimunculkan oleh Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia. Menurut Ibrahim, masyarakat madani merupakan sistem social yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebassan individu dengan kestabilan masyarakat. inisiatif dari individu dan masyarakat berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undang-undang, dan bukan nafsu atau keinginan individu.
Sejalan dengan gagasan diatas, Dawan Rahardjo mendefinisikan masyarakat madani sebagai proses peniptaan peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan bersama. Menurutnya, dalam masyarakat madani, warga Negara bekerjasama membangun ikatan social, jaringan produktif, dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat non Negara. Selanjutnya Rahardjo menjelaskan, dasar utama dari masyarakat madani adalah persatuan dan intregasi social yang didasarkan pada suatu pedoman hidup, menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang menyebabkan perpecahan dan hidup dalam suatu persaudaraan.
Sejalan dengan ide-ide diatas, menurut Azyumardi Azra, masyarakat madani lebih dari sekedar gerakan pro-demokratis, karena ia juga mengacu pada pembentukan masyarakat berkualitas dan ber-tamadun (civility). Menurut cendekiawan muslim Nurcholish Madjid, makna masyarakat madani berasal dari kata civility, yang mengandung makna toleransi, kesediaan pribadi-pribadi unuk meneriama perbagai macam pandangan politi dan tingkah laku social.[1]
Masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri di hadapan penguasa dan negara memiliki ruang publik ( publik sphere ) dalam mengemukakan pendapat adanya lembaga-lembaga mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan public.[2]
Wacana masyarakat madani, sudah dikemukakan pada masa Aristoteles (384-322 SM), bahwa masyarakat madani dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah Koinonia Politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan mengambil Keputusan.
Fase kedua, pada tahun 1767 Adam Ferguson mengembangkan wacana civil society, dengan konteks sosial dan politik di Skotlandia. Berbeda dengan pendahulunya, ia lebih menekankan visi etis pada civil society, dalam kehidupan sosial, pemahaman ini lahir tidak lepas dari pengaruh revolusi industri dan kapitalisme yang melahirkan ketimpangan sosial yang mencolok antara publik dan individu.
Fase ketiga, berbeda dengan pendahulunya, pada tahun 1792 Thomas Paine memaknai wacana civil society sebagai suatu yang berlawanan dengan lembaga negara, bahkan ia dianggap sebagai antitesis negara, bersandar pada paradigma ini, peran negara sudah saatnya dibatasi, menurut pandangan ini, negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka, konsep negera yang absah, menurut pemikiran ini adalah perwujudkan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan bersama. Dengan demikian, masyarakat madani menurut Paine ini adalah ruang di mana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan.
Fase keempat, wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh G.W.F Hegel (1770-1831 M), Karl Max (1818-1883 M), dan Antonio Gramsci (1891-1837 M). Dalam pandangan ketiganya, civil society merupakan elemen ideologis kelas dominan, pemahaman ini adalah reaksi atau pandangan Paine, Hegel memandang civil society sebagai kelompok subordinatif terhadap negara. Pandangan ini, menurut pakar politik Indonesia Ryass Rasyid, erat kaitannya dengan perkembangan sosial masyarakat borjuis Eropa yang pertumbuhannya ditandai oleh perjuangan melepaskan diri dari cengkraman dominasi negara.
Fase kelima, wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab Hegelian yang dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859), bersumber dari pengalamannya mengamati budaya demokrasi Amerika, ia memandang civil society sebagai kelompok penyeimbang pengontrol kekuatan negara, dengan mewujudkan pluralitas, kemandirian politik, dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang kuat.[3]
2. Karakteristik masyarakat madani
a. Wilayah public yang bebas
Free public sphere adalah ruang public yang bebas sebagai sarana untuk mengemukakan pendapat warga masyarakat. diwilayah ruang public ini semua warga Negara memiliki posisi dan hak yang sama untuk melakukan transaksi social dan politik tanpa rasa takut dan terancam oleh kekuatan-kekuatan diluar civil society. Mengacu pada Arend dan Habermas, ruang public dapat diartikan sebagai wilayah bebas dimana semua warga Negara memiliki akses penh dalam kegiatan yang bersifat public. Sebagai prasyarat mutlak lahirnya civil society yang sesungguhnya, ketiadaan wilayah public bebas ini pada suatu Negara dapat menjadi suasana tidak bebas dimana Negara mengontrol warga Negara dalam menyalurkan pandangan social politiknya.
b. Demokrasi
Demokrasi adalah prasyarat mutlak lainnya bagi keberadaan sivil society yang murni (genuine). Tanpa demokrasi masyarakat sipil tidak mungkin terwujud. Secara umum demokrasi adalah suatu tatanan social politik yang bersumber dan dilakukan oleh, dari, dan untuk warga Negara.
c. Toleransi
Toeransi adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat. Lebih dari sikap menghargai pandangan berbeda orang lain, toleransi, mengacu pndangan Nurcholis Majid, adalah persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaan itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang menyenangkan antara berbaga kelompok yang berbed-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai hikmah atau manfaat dari pelaksanaan ajaran yang benar. Dalam perspektif ini, toleransi bukan sekedar tuntutan social masyarakat majemuk belaka, tetapi sudah menjadi bagian penting dari pelaksanaa moral agama.
d. Puralisme
Kemajemukan atau pluralisme merupakan prasyarat lain bagi civil society. Pluralism tidak hanya dipahami sebatas sikap harus mengakui dan menerima kenyataan social yang beragam, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah dan rahmat tuhan yang bernilai positif bagi kehidupan masyarakat.
e. Keadilan social
Keadilan social adalah adanya keseimbangan dan pembagian yang proposional atas hak dan kewajiban setiap warga Negara yang mencangkup seluruh aspek kehidupan : ekonomi, politik, pengetahuan, dan kesempatan. Dengan pengertian lain, keadilan social adalah hilangnya monopoli dan pemusatan salah sat aspek kehidupan yang dilakukan oleh kelompok atau gollongan tertentu.[4]
Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia diantaranya:
1. Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata.
2. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat.
3. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter.
4. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas.
5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar.[5]
3. Peran LSM dalam situasi bermasyarakat
Peran LSM Indonesia sebagai bagian dari organisasi gerakan social, pada umumnya masih diabaikan oleh para peneliti. Sebagian besar studi yang banyak dilakukan mengenai organisasi gerakan social di Indonesia tidak mengaitkan peran gerakan social dalam perubahan social dimasa mendatang, dan studi-studi tersebut pada umumnya belum menggunakan pendekatan yang berspektif dialektis, sifat saling keterkaitn antara keadaan ekonomi, politik, cultural, dan lingkungan, melinkan lebih berfokus kepada satu aspek saja. Peran pendidikan LSM dalam melahirkan kesadaran kritis dari ideology, bserta peranan LSM dalam menciptakan diskursus alternative bagi diskursus dan hegemoni developmentalisme tidak mendapat perhatian yang memadai.[6]
Melihat posisi ideology aktivis LSM,yakni melihat kaitan antara gerakan LSM dan Hegemoni Developmentalisme, merupakan kenyataan yang sangat mengejutkan bahwa mayoritas aktivis dalam garakan LSM di Indonesia secara ideologis dan teoritis pada dasarnya pendukung developmentarisme. Mayoritas aktivis LSM member konsep pembangunan apa adanya tanpa mempertanyakan secara kritis dan tak terelakan memahaminya sebagai istilah yang netral. Dalam berbagai diskusi dan wawancara, mereka sering mengungkapakan bahwa sebenarnya tidak ada yang salah dengan konsep pembangunan, masalahnya hanyalah pada bagaimana melaksanakannya dan siapa yang mendapat keuntungan dari pembagunan.
Sangat sedikit sekali aktivis LSM yang benar-benar mempertanyakan masalah sistematik struktual masyarakat ketika merumuskan masalah. Studi ini berhasil melakukan dekontruksi terhadap diskursus developmentaisme. Namun stud ini belum berhasil menciptakan ruang untuk membangun visi dan paradigma alternative gerakan LSM Indonesia. Dengan kata lain, studi ni telah berhasil melahirkan kesadran kritis diklangan aktivis untuk menolah ansumsi-ansumsi klasik developmentalisme. Juga, studi ini telah berhasil membangkitkan dan memotivasi aktivis LSM untuk membangun landasan informasi melalui proses kesadaran kritis. Proses kesadaran kritis telah memulai mempengaruhi kalangan aktivis LSM secara lebih luas melalui agenda pendidikan politik aktivis LSM. Para aktivis yang terlibat dalam studi ini telah berhasil mulai melaksanakan program pendidikan politik.[7]
BAB III
ANALISA
Dalam kehidupn bemasyarakat tentu da orientasi yang ingin dicapai yakni tatanann kehdupan bermasyarakt. Ttanan masyaraat tentu berangkat dari sebuah landsan ataau yang apa dipahami oleh masyarakat itu sendiri. Sadar atau tidk aar tingkah laku kita dalam keseharian dibingki oleh sebuaah landaasan pandangan dunia terhadap realitas. Jadi dapat saya simpulkan, tatanan sebuah masyarakat dilansadi dari pandangan dunia dlam artian konsepsi pa yang dipahami dan diterapkan.
Salah satu sintesa dri pandangan dunia yang menyusun tatanan kehidupan bermasyarakat adalah sistem. Sistem yang saya maksud disini adalah alat dan cara yang digunakan dalam menyusun sebuh tatanan kehidupan bermasyarakat. Yang sudah ada dalam pembhasan makalah mengenai masyarakat madani yang merupakan kata lain dari masyarakat sipil (civil society), istilah ini dikonotasikan sebagai seuah orientasi masyarakat yang ideal sebuah tatanan masyaraat yang dapat menjamin kedilan dan kesejahteraan masyarakat. kedilan harus diposisikan secara netral, artinya etiap orang atau badan hokum memiliki kedudukan dan perlakuan yang sama atau dalam hokum dikenal satu asas yaitu asas before the law (semua ama dimata hukum). Jadi dalam masyarakat madani tidak ada diskriminasi dan diferensiasi alam penegakan hokum. Tidak ada tebang pilih dalam penegakan hukum, yang jelas siapa yang meanggar hukum harus diadili. Penegkan supremasi hukum dalam masyarakat madani tidak memandang predikat yang melekat pada atu individu, lembaga, atau apa saja yang masuk kategori subjek hokum.
Masyarakat madni adalah sebuah hal yang sangat sacral yang kemungkinan jika dibenturkan dengan realitas social yag terkjdi ditengah-tengah masyaraat hanya ada meinmbulkan naiknya tensi pesimisme dan derajat kefrustasian. Wujud masyarakat madani bukanlah alsan untuk berhenti bertindak tetapi sebuah orientasi ideal yang mesti dicapai. Masyarkat madani memliki perspektif sendiri dalam perjuangan demokrasi dn memiliiki pektrum yang luas dan berjangka panjang. Dalam perspektif mayarakat madani demokratisasi tidak hanya dimaknai sebagai posisi diamentral dan antites negara, melaikan bergantung pada situasi dn kodisinya.
Ada saatnya demokratisasi melaui masyarakat madani harus garang dank eras terhdap pemerinttah, namun ada saatnya juga masyarakat madani juga harus ramah dan lunak. Nilai-nilai ketuhanan menuntut tumbuhnya sikap dn perbuatan yang sesuai dengn norma-norma dan oral yang diajrkan oleh agama-agama yang bersmber dari tuhan. Hal ini mengingat bahwa agama adalh dasar dan asas moral bangsa dan masyarakat yang berfilsafah paancsila. Untuk itu, maka nilai-nilai agama mendapat tempat interprestasi dan implementasi dalam pancasila sebagai dasar filsafah dan idiolo negara. Banga Indonesia diakui sebagai bangsa yng beragama.
Dalam membangun dan membina mayarakat dan bangsa dengan totalitasnya, perlu dipikirkan terutama terhadap generasi penerus, agar keberagaman yang telah ntern dengan alam dan kondisi Indonesia ini dipahami dan diterima oleh mereka. Dalam msyarakat madani, setiap manusia mempuyai hak ama dan dipandng sbagai kenyataan, baik secara pribadi ataupun secar bergolongan. Setiap anggta msayarakat menyadari posisi masing-masing abaik ia sebagai anggota masyarakat biasa, karyawan, pejabat ataupun sebagai penguasa, bahwa ia mempunyai hak dan kewjiban yang sama.
BAB IV
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Munculnya konsep masyarakat madani menunjukkan intelektual muslim Melayu yang mampu menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan modern, persisnya mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18. Konsep masyarakat madani digunakan sebagai alternatif untuk mewujudkan good government, menggantikan bangunan Orde Baru yang menyebabkan bangsa Indonesia terpuruk dalam krisis multidimensional yang tak berkesudahan.
Dilihat dari sejarahnya civil society yang bertujuan untuk menghindari pemerintahan yang absolut. Dan Indonesia telah meniru model Amerika, dimana negara mempunyai posisi yang lemah masyarakatnya. Hal itu bertentangan dengan prinsip keseimbangan dalam Islam dan sejarah masyarakat Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Realitas juga menunjukkan kalau negara yang demokratis tidak dapat dilakukan sendiri oleh masyarkat madani, tetapi harus ada keinginan politik juga dari pemerintah karena banyak karakteristik dari demokrasi yang memang menjadi kewajiban negara modern
B.SARAN
Alhamdulillah, demikian sedikit pembahasan tentang masyarakat madani. Apabila ada kritik dan saran mengenai penulisan maupun pengaturan dalam pembuatannya, dipersilahkan untuk berpendapat, guna untuk perbaikan selnjutnya. Saya selaku manusia biasa meminta maaf apabila terjadi banyak kesalahan dalam proses pembuatan. Terimakasih.
[1] Ubaedillah dan Abdul Rozak,Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, (Jakarta: Kencana,2008)hlm 193
[2] Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: pemikiran, teori, dan relevansinya dengan cita-cita reformasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), 240
[3] Dede Rosyada, dkk, , Civic Education: Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Jakarta,2000)hlm 242
[4]Ubaedillah dan Abdul Rozak,Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, (Jakarta: Kencana,2008)hlm 202
[5] DR. Nurcholish Majid, KehampaanSpiritual Masyarakat Modern, (Jakarta: Media Cita,2000) hal.247
[6] Mansour Fakih, Masyarakat sipil untuk transformasi social,(Yogyakarta:Pustaka pelajar, 2004)hlm39
[7] Mansour Fakih, Masyarakat sipil untuk transformasi social,(Yogyakarta:Pustaka pelajar, 2004)hlm 116
DAFTAR PUSTAKA
Fakih Mansour, Masyarakat sipil untuk transformasi social,Yogyakarta:Pustaka pelajar, 2004
Majid Nurcholish, KehampaanSpiritual Masyarakat Modern, Jakarta: Media Cita,2000
Rosyada Dede, dkk, Civic Education: Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,
Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2000
Suryadi Adi ,Masyarakat Madani,Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2002
Ubaedillah dan Rozak Abdul,Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, Jakarta: Kencana,2008
0 komentar:
Post a Comment