Media Informasi Seputar pendidikan

Tuesday, December 11, 2018

artikel tentang DINAMIKA ISLAM DAN BUDAYA JAWA DALAM MENGHADAPI MODERNITAS



DINAMIKA ISLAM DAN BUDAYA JAWA DALAM MENGHADAPI MODERNITAS


ABSTRAKSI
Bangsa yang besar adalah bangsa yang terus berpijak pada akar budaya,  dan kemanapun bangsa tersebut berkembang. Seberapa erat sang penerus menjaga akar kebudayaanpun akhirnya menjadi suatu faktor tertentu kebesaran sebuah bangsa. Budaya Jawa, sebagai salah satu ragam budaya yang dimiliki bangsa kita yang tengah berdiri menghadapi tantangan yang juga menjadi tantangan setiap budaya di dunia modern.
Dalam hasil karya tulis ini penulis mendeskripsikan tentang “DINAMIKA ISLAM DAN BUDAYA JAWA DALAM MENGHADAPI MODERNITAS”. Penulisan karya tulis ini menjelaskan tentang bagaimana perpaduan nilai Jawa dan Islam serta nilai budaya Jawa Islam di tengah modernisasi. Penulisan karya tulis ini bertujuan untuk menganalisis dan melihat bagaimana budaya Jawa Islam dalam menghadapi modernitas, serta apa nilai yang dapat diambil darinya. Hasil penelitian yang di dapat menunjukan bahwa masalah  ini ternyata tidak menyebabkan budaya Jawa luntur, tetapi justru diperkaya dan diperhalus, melalui proses asimilasi dan akulturasi.



A.    PENDAHULUAN
Bangsa yang besar adalah bangsa yang terus berpijak pada akar budaya, kemanapun bangsa tersebut berkembang. Apalah arti ilai adiluhung yang terkandung dalam budaya tersebut apabila kelak akan terhenti pada  suatu generasi. Seberapa erat sang penerus menjaga akar kebudayaanpun akhirnya menjadi suatu faktor tertentu kebesaran sebuah bangsa. Budaya Jawa, sebagai salah satu ragam budaya yang dimiliki bangsa kita yang tengah berdiri menghadapi tantangan yang juga menjadi tantangan setiap budaya di dunia modern.
Kita patut bersyukur bahwa sejak dahulu budaya Jawa tumbuh sebagai budaya yang memiliki stabilitas dan fleksibilitas yang tinggi terhadap perubahan-perubahan disekitarnya. Nilai-nilai serta pemikiran-pemikiran yang terkandung di dalamnya pun tak pernah langka oleh waktu, menjadikannya sebagai budaya yang kokoh menghadapi gerusan zaman. Namun, tentu itu semua tak lepas dari kewajiban kita dalam menjaga kelonggaran dalam budaya Jawa.
Berdasarkan latar belakang diatas permasalahan yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut.
1.1  Bagaimana Perpaduan Nilai Budaya Jawa dengan Islam?
1.2  Bagaimana Nilai Budaya Jawa Islam ditengah Modernisasi?
Karya tulis ini disusun guna untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Bahasa Indonesia. Selain itu karya tulis ini berfungsi sebagai pengetahuan tentang bagaimana bertahannya nilai-nilai budaya Jawa Islam di tengah modernisasi. dan juga sebagai penambah wawasan tentang bagaimana berpadunya nilai budaya Jawa dengan Islam.

B.     TEORI
Dalam bahasa Indonesia menurut Koen Tjaraningrat, kata kebudayaan sebelum mendapat imbuhan (awalan ke dan akhiran an) adalah budaya yang berasal dari bahasa Sansekerta budahayah, yaitu bentuk jama’ dari kata buddhi (budi atau akal). Ada pula yang menyebutnya bahwa kata budaya adalah perkembangan dari kata majmuk budidaya yang berarti daya dari budi, yang itu berupa cipta, karsa dan rasa. Oleh karna itu, kata kebudayaan dalam pengertian yang demikian adalah hasil daya cipta, karsa dan rasa manusia.
Menyinggung tentang modernisasi, kata “modern”, “modernitas”, dan “modernisasi” merupakan pengertian-pengertian abstrak yang sudah sangat populer. Dan yang lebih menonjol dari modernitas yang kita hadapi sekarang adalah teknikalisme atau pandangan yang serba terkait dengan teknologi, karena adanya peran sentral teknikalisme serta bentuk-bentuk kemasyarakatan yang terkait dengan itu maka orang-orang menyebutnya zaman sekarang sebagai “technical age
Disisi lain Karkono kamajaya memberikan batasan tentang kebudayaan Jawa, yaitu perwujudan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan, cita-cita, ide, maupun semangat untuk mencapai kesejah teraan, keselamatan dan kebahagiaan lahir batin. Menurutnya, kebudayaan Jawa telah ada sejak zaman prasejarah. Dengan datangnya agama Hindu dan Islam, maka kebudayaan Jawa kemudian menyerap unsur budaya-budaya tersebut sehingga menyatulah unsur pra Hindu, Hindu-Jawa, dan Islam dalam budaya Jawa tersebut. Jadi, nilai budaya Jawa yang telah terpadu dengan Islam itulah yang kemudian disebut budaya Jawa Islam.
Berkaitan dengan sifat budaya yang terbuka menerima unsur-unsur budaya lain,  Franz Magnis Suseno menilai bahwa budaya Jawa memiliki ciri khas yang lentur dan terbuka. Walaupun suatu saat terpengaruh unsur kebudayaan lain, tetapi kebudayaan Jawa masih dapat mempertahankan keasliannya. Dengan demikian, inti budaya Jawa tidak larut dalam Hinduisme dan Budhisme, tetapi justru unsur dua budaya itu dapat “dijawakan”. Hal ini terjadi karena nilai budaya Jawa pra Hindu yang animistis dan magis sejalan dengan Hinduisme dan Budhisme yang bercorak religius magis.


C.     PEMBAHASAN
Perubahan suatu lingkungan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan kebudayaan, dan perubahan kebudayaan dapat pula terjadi karena mekanisme lain, seperti munculnya penemuan baru atau inventation, difusi, atau akulturasi. Islam masuk ke Jawa, masyarakat telah memiliki kebudayaan yang mengandung nilai yang bersumber dari animisme, dinamisme, Hindu, dan Budha.  Dengan masuknya Islam, maka pada waktu selanjutnya terjadi perpaduan antara unsur-unsur pra Hindu, Hindu-Budha, dan Islam.
Faktor yang mendorong terjadinya perpaduan nilai-nilai budaya Jawa dan Islam salah satunya yaitu secara alamiah, sifat dari budaya itu pada hakekatnya terbuka untuk menerima unsur budaya lain. Karena lapangan budaya berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, maka tidak ada budaya yang dapat tumbuh terlepas dari budaya lain. Lalu terjadinya interaksi manusia yang satu dengan lainnya memungkinkan bertemunya unsur-unsur budaya yang ada dan saling mempengaruhi. Dalam realitas memang ada sebagian unsur budaya yang memiliki pengaruh dominan terhadap individu atau kelompok, tetapi tidak ada budaya yang tumbuh terisolir dari pengaruh budaya lain. Karena manusia yang memproduksi dan memakai hasil budaya itu adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan masyarakat lain, maka terbuka kemungkinan untuk menyerap nilai-nilai budaya dari orang lain yang dijumpainya, dan dipandang cocok.
Selain sifat dasar budaya yang terbuka, perpaduan nilai budaya Jawa Islam tidak terlepas dari sikap toleran walisongo dalam menyampaikan ajaran Islam ke tengah masyarakat Jawa yang telah memiliki keyakinan pra Islam yang sinkretis itu. Dengan metode manut ilining banyu para wali membiarkan adat istiadat Jawa tetap hidup, tetapi diberi warna nilai keislaman, seperti acara sesajen diganti kenduri atau slametan. Sesajen yang mulanya disertai mantra, kemudian dalam selametan dialihkan untuk membaca kalimat thoyyibah.
Dari sejarah terciptanya kesepakatan para wali dalam mentolerir budaya Jawa pra Islam itu diketahui bahwa keputusan tersebut bersifat sementara, sewaktu masa transisi antara budaya Jawa Kuno yang bersumber pada Animisme, Dinamisme, Hinduisme, dan Budhisme, berpindah pada budaya Islam. Yang mengusulkan adat istiadat Jawa seperti sesaji atau selamatan itu diberi rasa keislaman adalah Sunan Kalijaga. Pendapat itu awalnya memperoleh sanggahan dari Sunan Ampel yang mengkhawatirkan orang Islam nantinya akan memandang adat istiadat sesaji tersebut berasal dari ajaran Islam. Perbedaan pendapat itu dikompromikan oleh Sunan Kudus yang dapat menyetujui pendapat Sunan Kalijaga, dengan alasan agama Budha juga memiliki kesamaan ajaran sosial dengan Islam yang menganjurkan orang kaya menolong orang miskin.
Dalam pandangan Sunan Kudus, kenduri sebagai pengalihan bentukdari sesajimemiliki nilai sosial yang tinggi. Dengan membagikan nasi kenduri kepada tetangga akan menciptakan kerukunan sesama manusia, dan perbuatan itu juga diperintahkan Islam. Keputusan mentolerir adat jawa pra Islam itu menurut Solichin Salam bersifat sementara, dan para wali mengharapkan setelah proses Islamisasi berhasil, akan ada pemeluk Islam yang menjelaskan duduk persoalan adat istiadat Jawa yang diberi baju keislaman tersebut. Sampai sekarang, tradisi slametan masih hidup dikalangan orang-orang Jawa Islam, dengan motivasi penyelenggaraan yang beragam. Ada sebagian yang masih percaya para kerangka budaya yang animistis, tetapi ada pula yang melaksanakan dengan kerangka budaya Islam dengan tujuan sodaqoh.
Paling tidak ada dua faktor yang mendorong terjadinya perpaduan nilai-nilai budaya jawa dan Islam tersebut, yaitu yang pertama, secara alamiah, sifat dari budaya itu pada hakekatnya terbuka untuk menerima unsur budaya lain. Karena lapangan budaya berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, maka tidak ada budaya yang dapat tumbuh terlepas dari budaya lain. Lalu yang kedua, yaitu  sikap toleran walisongo dalam menyampaikan ajaran Islam ke tengah masyarakat Jawa yang telah memiliki keyakinan pra Islam yang sinkretis itu.
Menyinggung tentang nilai budaya Jawa Islam di tengah modernisasi atau Kebudayaan Jawa di tengah arus globalisasi, masyarakat Jawa pengusung kebudayaan Jawa tidak bisa tidak terbawa arus glombang masifikasi budaya-budaya dan etnik-etnik yang ada di Indonesia dan belahan bumi mana saja. Nilai budaya Jawa Islam sulit berubah dimasa modern ini karena berkaitan dengan keyakinan keagamaan dan adat istiadat. Dalam konteks terjadinya perubahan kearah modernisasi yang berciri nasionalistis, matrealistis, legaiter maka nilai budaya Jawa diharapkan dijadikan sebagai tantangan global. Diantara nilai keuniversalan itu terletak pada niali spiritual yang religius magis.
Nilai yang religius magis pada era modern ini juga ditemukan pada budaya-budaya bangsa di negeri ini, tidak terbatas pada budaya Jawa. Maka nilai ini tampak akan hidup di masyarakat, dan masyarakat menganutnya karena adanya berbagai faktor penyebab antara lain nilai spiritual Jawa yang sinkretis, yang dalam realitasnya tidak mudah hilang dengan munculnya rasionalisasi diberbagai segi kehidupan karena diperlukan dalam menghadapi berbagai tantangan hidup yang muncul di abad modern. Namun, dalam kenyataannya masyarakat, ada adat istiadat Jawa yang telah mengalami pergeseran sehingga dipandang tidak memiliki nilai magis lagi, tetapi sekedar bernilai seni. Misalnya, rangkaian upacara dalam perkawinan.
Kehidupan spiritual dibutuhkan pula oleh manusia modern disaat terjadi persaingan ketat yang menuntut profosionalisme dan kualitas tinggi di berbagai bidang. Hal ini menyebabkan banyak orang stres, dan mereka mencari ketenangan batin, diantaranya dengan kembali pada tradisi spiritual Jawa Islam yang sinkretis. Tidak mengherankan jika di era modern ini upacara yang sejak dulu telah mengakar di masyarakat, yang bersifat religius magis banyak dilakukan lagi seperti tradisi pembuangan sial.
Kehidupan spiritual di era modern ini secara umum memang tampak mengalami peningkatan, termasuk di kalangan masyarakat Jawa. Hal ini disebabkan karena sebagian besar orang mulai merasa pengaruh negatif dari budaya modern yang hanya menonjolkan logika dan materi, tetapi kering dari nilai spiritual. Mereka cenderung mengutamakan hal yang bersifat materi dan rasional, tetapi melupakan nilai sosial dan batiniah. Sejalan dengan hal itu, maka banyak orang merindukan ketenangan batin dan lahiriyah mereka keajaran agama dan kehidupan spiritual termasuk spiritualitas Jawa Islam, yang mulai banyak dilirik kembali oleh masyarakat modern.

D.    KESIMPULAN
Sewaktu Islam masuk ke tanah Jawa, masyarakat telah memiliki kebudayaan yang mengandung nilai yang bersumber pada kepercayaan Animisme, Dinamisme, Hindu,dan Budha. Dengan masuknya Islam, maka terjadi akulturasi dan asimilasi budaya-budaya tersebut yang kemudian disebut budaya Islam. Selanjutnya, adanya enkulturasi yang dilakukan oleh raja maupun masyarakat Jawa, walaupun telah mengalami pergeseran, sebagaimana lazimnya budaya lain yang mengalami perubahan, sesuai dengan situasi dan kondisi mesyarakat pencipta kebudayaan tersebut.
Dengan sifat budaya Jawa yang lentur, diharapkan nilai-nilai budaya Islam modern menyebar secara global.dalam komunikasi antar budaya yang pernah terjadi antara budaya Jawa dengan budaya Hindu, Budha, dan Islam, ternyata tidak menyebabkan budaya Jawa luntur, tetapi justru diperkaya dan diperhalus, melalui proses asimilasi dan akulturasi. Dan untuk berkomunikasi itu budaya Jawa memiliki prinsip yang mendukung elastisitas tersebut, misalnya filsafat tentang “keselarasan sosial” dan membangun kesejahteraan umat manusia.

0 komentar:

Post a Comment