MAKALAH mata kuliah ushul fiqih dengan judul SEJARAH IMAMUL HARAMAIN
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: H. Amin Farih, M.Ag
Disusun oleh:
1. Umuntiatus Sholechah (133411011)
2. Af’idaturrohmawati (133411012)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I. PENDAHULUAN
Imam Al-Haramain Al-Juwaini merupakan salah seorang Guru Imam Al-Ghazali dan Imam Al-Qusyairi, terutama ketika mereka masih kuliah di Universitas Nizamiyah, Baghdad, perguruan tinggi yang saat itu sangat terkenal karena melahirkan sejumlah Ulama besar. Imam Al-Haramain Al-Juwaini memang tidak terkenal sebagai Sufi, tapi beliau mampu memberikan inspirasi bagi anak didiknya untuk menjadi sufi. Beliau juga dikenal sebagai pengarang yang produktif. Kitab-kitabnya dikaji oleh kaum muslimin di seluruh dunia, menjadi rujukan wajib bagi mereka yang mendalami agama.
Banyak pemikiran pemikiran yang ia lahirkan termasuk dalam bidang politik yang selalu menjadi kajian yang menarik, hal ini karena pemikiran imam juwaini kadang kala bertentangan dengan kebanyakan tokoh seperti Al-Baqillani, Al-Baghdadi, Al-Mawardi, Al-Haramain (Al-Juwaini), Al-Ghazali, Ibn Taimiyah dan Ibn Khaldun.
Terhadap kajian dan penulisan teori-teori politik pada khususnya, kelihatannya para pemikir Islam Sunni klasik cenderung menciptakan teori-teori politik sendiri. Teori-teori politik yang mereka hasilkan merupakan bagian dari kajian ilmu fiqh, kalam, tarikh, filsafat, maupun adab (sastra). Bahkan, ada juga yang termaktub dalam kajian tafsir-tafsir al-Qur'an dan syarah (penjelasan) atas hadis-hadis.
Seperti itu juga yang dilakukan oleh imam juwaini dalam pemikirannya. meskipun banyak dipengaruhi oleh suatu sifat tertentu dan tampil dalam wajah tersendiri, serta perkembangannya berhenti pada titik tertentu, namun hasil tersebut merupakan kekayaan ilmiah yang sangat bernilai dan harus diperhatikan serta dikaji lebih lanjut.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana sejarah Imamul Haramain?
B. Bagaimana setting sosial budaya pada masa Imamul Haramain?
C. Bagaimana setting politik Imamul Haramain?
D. Bagaimana wacana keilmuan pada masa Imamul Haramain?
E. Apakah metode istinbat yang dipakai Imamul Haramain?
III. PEMBAHASAN
A. Sejarah Imamul Haramain
Nama lengkapnya adalah Abdul Al- Malik ibn Abdullah ibn Yusuf ibn Muhammad ibn Hayyuyah Al-Juwaini. Ia lahir di Basitiskan, salah satu nama wilayah di Khurasan, Persia pada tanggal 12 Muharram 419 Hijriyah, bertepatan dengan 22 Februari 1028 M. Beliau hidup mencapai usia 59 tahun. Beliau wafat didaerah kelahirannya pada malam rabu tanggal 25 Rabi’ul-akhir 478 Hijriyah. Tentang sebutan Al- Juwaini diambil dari nama kota Jumain atau Kuwain yang terletak antara Bastam dan Naisabur.[1]
Ayahnya seorang ulama yang sangat taqwa. Silsilah keturunannya, sesungguhnya berasal dari Arab, yaitu dari suku Thoi, sebuah suku yang cukup masyhur dari qabilah Arab. Ia tidak makan kecuali dari yang halal dari yang dihasilkan oleh keringatnya sendiri. Ia menikahi seorang perempuan dengan mas kawin yang diperoleh dari usahanya sendiri. Kepada istrinya, ia mengatakan dan berpesan agar sang anak tidak disusui oleh orang lain. Namun pada suatu hari ketika sang ibu tengah memasak, anaknya menangis. Tiba-tiba istrinya menyerahkan anak itu untuk disusui perempuan lain. Suaminya melihat keadaan itu lalu segera melarangnya. Kepada istrinya ia mengatakan: “perempuan sahaya ini bukan milik kita dan ia tidak berhak menyusui kecuali dengan izin tuannya, padahal sang tuan tidak mengizinkannya”. Dengan tiba-tiba saja sang anak memuntahkan lagi isi perutnya.
Al-juwaini meninggalkan negaranya sekitar tahun 443-447 H, pada saat di dalam negaranya berkobar fitnah yang terkenal dengan sebutan fitnah al-khunduri. Ia pergi ke Mu’askar, Bagdad dan Isfahan. Di Bagdad ia belajar pada Abu Bakar Al-Baqillani. Ia pernah mengatakan bahwa ia pernah membaca dan bahkan menghapal 12. 000 lembar buku karangan al-qadi Abu Bakar Al-Baqillani tentang teologi. di Isfahan ia belajar pada Abu Nu’aim Al-Isfahami pengarang buku al-hilyah. Selain belajar khusus, ia juga banyak mengadakan diskusi ilmiah dengan para tokoh yang ada di Negara Negara yang pernah di kunjunginya.
Gelar Imam Haramain Yang Ia Dapatkan itu karena ia pernah menetap dan mengajar di Makkah dan Madinah. Ia juga disebut Diya’uddin, karena ia mempunyai kelebihan dalam “menerangi” hati dan pikiran para pembela aqidah Islamiyah, dan karena itu tokoh-tokoh Ahl al-Sunnah dapat menangkis serangan dari para pengikut “golongan sesat” yang telah terjerumus dalam kesesatan.[2] Selain itu, ia juga bergelar al-Ma’ali, karena ilmunya mengenai masalah-masalah ke-Tuhanan (teologi) dipandang cukup mendalam dan kesungguhannya ke arah kejayaan agamanya. Kepandaian berargumentasi dalam mengungguli mitra dialognya dalam usaha menegakkan kebenaran dan membasmi kebatilan.
B. Setting Sosial Budaya pada masa Imamul Haramain
Masa kecil imam Al-Juwaini sangat ketat dalam pendidikan agama dan seperti biasa beliau juga mendapat bimbingan langsung dari ayahandanya. Setelah dewasa beliau berguru kepada beberapa ulama, diantaranya Abu Al-Qasim iskaf Al-Asfarani dalam ilmu fiqih dan ushul fiqih. Kemudian beliau memperdalam bahasa arab kepada Abu Abdillah Al-Bukhari dan Abu Al-Hasan Ali bin Fadhal bin Ali Al-Majassy'i , beliau juga belajar ilmu hadits kepada sejumlah ulama seperti Abu Sa'ad bin Malik, Abi Hasan Muhammad bin Ahmad Al-Muzakki, Abu Sa'ad bin Nadraw, Manshur bin Ramisyi, Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Al-Haris Al-Ashabani Al-Tamimi dan Abu Sa'ad bin Hamdan Al-Naishabur.
Masa hidup Imam Haramain adalah masa akhir pemerintahan Khilafah Abbasiyah yang berpusat di Bagdad. Masa ini adalah masa yang penuh dengan gejolak termasuk gejolak pertentangan pandangan keagamaan antara kaum Sunni dengan sementara kelompok dari kaum Syi’ah. Situasi inilah yang mengakibatkan berpindahnya beberapa tokoh ulama Sunni meningalkan kampung halamannya unfuk mendapatkan perlindungan dan ketenangan. Diantara yang hijrah ini termasuk Imam Al Qusyairi dan Imam Al Haramain sendiri. Beliau ini hijrah ke Bahgdad, dan selanjutnya terus ke Mekah Al Mukarramah dan tinggal di sana selama empat tahun.[3]
Belakangan beliau pulang kampong ke Naishabur dan mengajar. Tak berapa lama kemudian beliau diminta oleh Perdana menteri Nizam Al-Mulk untuk mengajar di Madrasah Tinggi Nizamiyah di Baghdad. Di madrasah inilah beliau melewatkan hari-harinya untuk mengajar sampai di akhir hayatnya. [4]
C. Setting Politik Imamul Haramain
Situasi pada zaman al-Juwaini hidup mengalami kesenjangan di segala bidang. Keadaan ini bermula dari lemahnya pemerintah pusat di Baghdad. Pada masa desintegrasi ini, khalifah Abbasiyah yang berkuasa tidak lagi mempunyai wibawa dan kekuasaan mutlak. Negara-negara kecil mulai bermunculan dengan cara melepaskan diri dari kekuasaan pusat. Kekuasaan khalifah di rongrong dari dalam dan luar istana oleh orang keturunan Turki yang merasa tela mendapatkan kedudukan kuat. Khalifah sendiri berusaha mencari dukungan dari luar guna menyelamtkan kekuasaannya. Maka pada tahun 334 Hijriyah khalifah Abbassiyah ke 21 Al- Muttaqi di Baghdad meminta bantuan kepada Ahmad A Buwaihi yang berkedudukan di Khurasan untuk melindunginya dari musuh. akibat dari permintaan itu, maka pada tahun ini pula dinasti Buwaihi berhasil memasuki Baghdad dengan mulusnya tanpa hambatan. Setelah bani Buwaihi berhasil mengalahkan musuhnya, kini merekala yang memegang kekuasaan penuh atas permimintaan pemerintahan pusat.
Walaupun diluar bani Buwaihi tampak seperti berada di bawa kekuasaan Abbasiyah namun pada hakikatnya merekala yang memegang penuh tampak pemerintahan pusat. Bahkan lebih jauh bani Buwaihi yang bermazhab syiah menekan khalifah Abbasiyah yang bermazhab sunni. Hal ini wajar terjadi sebab anatara kedua mazhab saling bersaing untuk mencari pengaruh di kalangan masyarakat umum. Kekacaun di bidang politik membawa kepada kekacaun di bidang akidah. Timbul berbagai fitnah di mana-mana tak terkecuali di Nisyapur tanah tumpah imam Juwaini.
Keadaan ini seperti terus berlanjut hingga suatu saat bani Saljuk yang bermazhab sunnah tiba di Khurasan pada tahun 426 Hijriyah. Kedatangan mereka tidak mengubah keadaan masyarakat secara drastis. Fitnah yang timbul akibat fanatik golongan belum bisa di tanggulaninya.
Pada masa pemerintahan bani Saljuk yang dipegang oleh Tughril Bek sekitar tahun 443 H. Timbul suatu fitnah yang kemudian di kenal sebagai fitnah “Al-Khunduri”. Amid al-malik al-Khunduri seorang wazir Thugril bek mengumumkan bahwa pemerintah menentang gerakan ahl-al-bid’ah yang di bawa oleh al-Asyari’ah seperti juga pemerintah menentang gerakan rafidah. Pemerintah mencela dan melarang mereka berceramah diatas mimbar. Lebih jauh pemerintah menyeru orang orang agar membenci mereka dan menganggapnya sebagai orang yang telah keluar dari ajaran islam. Menurut Hodgson, Al khunduri menyerukan mu’tazilah dan semua ajaran teologi lainnya unutk menghentikan ajaran-ajarannya.[5]
Banyak para ahli sejarawan yang mengatakan faktor sosial politik inila yang menjadi penyebab imam Juwaini meninggalkan kampung halamannya Nisyapur. Walaupun ada juga yang mengatakan bahwa Juwaini meninggalakan nisyapur karena keinginan sendiri untuk untuk menimpa ilmu pengetahuan, yang memang pada akhirnya imam Juwaini kembali lagi ke nisyapu setelah stuasi kembali kondusip.
Pemikiran Imam Al-Juwaini dalam bidang politik adalah sebagai berikut:
1. Dasar pembentukan lembaga pemerintahan
Ide dan gagasan Imam al-Haramain dalam bidang politik cukup menarik untuk di kaji. Terutma pemikiran-pemikiran politik beliau yang sering kontradiktif dengan pemikir-pemikir politik Islam Sunni klasik lainnya. Salah satu pemikiran politik beliau yang kontradiktif dengan ulama Sunni klasik lainnya adalah tentang Lembaga pemerintahan atau negara (imamah-khilafah) adalah kepemimpinan umum bagi umat Islam dalam urusan agama dan urusan dunia sebagai pengganti fungsi Nabi SAW. Dalam menetapkan lembaga pemerintahan (imamah-khilafah) ini, Sunni, Syi’ah dan Mu’tazilah mempunyai dasar hukum yang berbeda sesuai dengan doktrin yang dianut oleh setiap aliran tersebut. Imam al-Haramain al-Juwaini berpendapat, bahwa pembentukan lembaga pemerintahan (Imamah-khilafah) hukumnya adalah wajib. Namun demikian, menurut Imam al-Haramain kewajibannya hanya berdasarkan atas ijma’, dan bukan atas dasar nash atau perintah wahyu. Imam al-Haramain dalam menetapkan dasar hukum pembentukan lembaga pemerintahan (Imamah-khilfah) tersebut, berkaitan dengan pandangannya tentang hakikat Imamah itu sendiri. Imam al-Haramain mengatakan bahwa “masalah imamah tidak termasuk dalam prinsip-prinsip al-i’tiqad (keyakinan).” Orang yang tidak mengetahui asal atau sumber munculnya imamah itu menimbulkan dua hal. Pertama, cenderung menjadi ta’asshub (fanatik) dan melanggar kebenaran. Kedua, hal itu menjadi lapangan ijtihad yang serba mungkin dan boleh jadi (al-mujtahadat al-muhtamalat). Di dalamnya tidak terdapat dalil-dalil yang qath’iy (pasti).
2. Kriteria pemimpin negara Islam
Imam al-Juwaini mensyaratkan kepala negara dengan menitikberatkan pada sisi kemampuan berfikir. Pola berfikir yang diajukan oleh al-Juwaini hampir sama dengan apa yang digagas oleh Plato dahulu. Imam al-Juwaini mengatakan bahwa pemimpin negara haruslah seorang mujtahid, sehingga dengan begitu, ia tidak butuh meminta fatwa kepada orang lain, mempunyai kemampuan untuk mengurusi kemaslahatan dan dapat memeliharanya, mempunyai kemampuan dalam mengatur militer untuk pertahanan, memiliki wawasan yang luas dalam memikirkan kaum Muslimin, memiliki sifat lemah lembut, tegas dalam menjalankan hukum, seorang laki-laki yang merdeka. Yang menarik dari al-Juwaini adalah ia tidak menetapkan syarat seorang pemimpin negara dari keturunan Quraysh. Hal tersebut menurutnya merupakan suatu masalah yang diperselisihkan yang tidak boleh membuat statemen yang pasti dan mutlak.[6]
D. Wacana Keilmuan pada Masa Imamul Haramain
Ketika masih muda, Imam Haramain belajar fiqh dan hadits kepada ayahnya, Syeikh Abu Muhammad al Juwaini dan kepada Qadi Husein. Setelah itu ia sekolah di madrasah al Baihaqi dan belajar ilmu Kalam pada Abu al Qasim al Iskaf al Asyrafani. Dari sini ia kemudian melanjutkan ke Baghdad dan Hijaz. Empat tahun lamanya ia tinggal dan pulang pergi antara Makkah- Madinah sambil terus menimba Hadits dari para ulama di sana.
Guru- gurunya adalah; Abu Hasan Muhammad al Muzakki, Abu Sa’id Abd al Rahman bin Hamdan al Nadrawi, Abu Abdullah Muhammad bin Ibrahim bin al Yahya al Muzakki, Abu Sa’d Abd al Rahman bin al Hasan, Abu Abd Rahman Muhammad bin Abd al Aziz al Nili dan Abu Nu’aim.
Sedangkan Murid-muridnya antara lain; Zahir al Syahami, Abu Abdullah al Farawi dan Ismail bin Abu Salih al Muazzin. Beberapa karya yang Imam Haramain tulis antara lain; Al Nihayah fi al Fiqh, Al Syamil fi Usul al Din, Al Burhan fi Usul al Fiqh, Al Irsyad (akidah), Talkhis al Gharib, al Waraqat, Ghiyas al Waraqat, Mughis al Khalq fi Tarjih Mazhab al Syafi’i, Al Mukhtasar al Nihayah, dan Al Nizamiyah.
Keunggulan beliau dapat diketahui dari sejumlah karangannya. Karangannya disusun secara keilmuan, dengan sistem dan metodologi tertentu, melalui bahasan yang meyakinkan. Karangan beliau kita kelompokkan menjadi bidang:
1. Ilmu Ushuluddin yaitu:
a. Al Irsyad Ila Qowwathi’il Adillati Fi Ushulil I’tiqood.
b. Ar Risalah Fi Ushuliddin.
c. Asy Syamil Fi Ushuliddin.
d. Ghiyatsul Umam Fi Iltiyatsizh Zhulam.
e. Syifaa’ul Gholil Fi Bayaani Maa Waqo’a Fi At Taurooti wa Al Injiili Minat Tabdiil.
f. Al Aqidah anNizhoorniyah Fi Al Aanil Islamniah.
g. Luma’ul Adillati Fi Qowaa’idi ‘Aqoo’idi Ahlussunnah Wal Jama’ah
h. Mukhtashor AL Irsyad Lil Imam al Baqilani.
i. Masa’ilil Imarn Abdulhak Ash Shoqoli Wa Ajwibatu ha Lilimami Abilma’ali.
j. At Talkhiish Fi Al Ushuli.
2. Ilmu Ushulul Fiqhi yaitu:
a. Al Burhan Fi Ushulil Fiqhi.
b. Al Mujtahiddun (Min At Talkhish Fi Ushulil Fiqhi).
c. Al Waroqot Fi Ushulil Fiqhi.
d. Mughiitsul Kholqi Fi Ikhtiyaril Ahaqqi.
e. Al Irsyaad Fi Ushulil Fiqhi.
3. Al Fiqhu yaitu:
a. Nihaayatul Mathlab Fi Diroyatil Madzhab.
b. Munazhorroh Fi Al Itjtihaadi Fil Qiblati.
c. Munazhoroh Fi Ziwaajil Bikri,
d. As Silsilatu Fi Ma’rifatil Qaulaini Wal Wajhain.
e. Ar Risalatu Fil Fiqhi
f. ArRisalatu Fit Taqlidi Wal Ijtihadi.
4. Karangan-karangan lainnya yaitu:
a. As Durrotul Maliyah Fima Waqo’a Min Khilafi Baina Asy Syafi’iyah Wa Al Hanafiyah.
b. Ghunyatul Mustarsyidiin Filkhila.
c. Al Kafiah Fi Al jadal.
d. Qoshidatun Fil Washiyah Liwaladihi.
e. Kitabun Nafes
f. Diwanul Khuthob Al Minbariyah Al jumu’iyah Fil Mawasimi Wal A’yadi.[7]
E. Metode Istinbat yang dipakai Imamul Haramain
Imam Haramain dalam kitab Ghiyats al Ulum (dengan tahqiq Dr Abdul Azhim ad Dib hal. 296-297), mengatakan orang yang bertaklid perlu berhati- hati dan bersikap kritis dalam menentukan orang yang ditaklidinya. Ia tidak bisa seenaknya bertaklid kepada ahli fatwa sekehendak dirinya. Ia harus mencari tahu seputar madzhab- madzhab yang ada dan bertentangan pendapat- pendapat yang ada beserta konsekuensi- konsekuensinya. Karena bagaimana ia dapat memilih dengan tepat antara mengambil madzhab yang mengharamkan (dalam suatu perkara) dan yang menghalalkannya? Sedangkan, ia tidak memiliki gambaran yang benar mengenai jalan yang ditempuhnya.
Pendapat yang dijelaskan Imam Haramain mengenai ketentuan orang yang bertaklid terhadap orang yang ditaklidinya adalah tidak diperuntukan bagi orang awam saja. Tetapi, juga bagi orang yang termasuk penuntut ilmu, yang menurutnya sebagai golongan orang yang mampu untuk memilih dan membenarkan suatu perkara hukum.[8]
IV. KESIMPULAN
Nama lengkapnya adalah Abdul Al- Malik ibn Abdullah ibn Yusuf ibn Muhammad ibn Hayyuyah Al-Juwaini. Ia lahir di Basitiskan, salah satu nama wilayah di Khurasan, Persia pada tanggal 12 Muharram 419 Hijriyah, bertepatan dengan 22 Februari 1028 M. Beliau hidup mencapai usia 59 tahun. Beliau wafat didaerah kelahirannya pada malam rabu tanggal 25 Rabi’ul-akhir 478 Hijriyah. Tentang sebutan Al- Juwaini diambil dari nama kota Jumain atau Kuwain yang terletak antara Bastam dan Naisabur.
Gelar Imam Haramain Yang Ia Dapatkan itu karena ia pernah menetap dan mengajar di Makkah dan Madinah. Ia juga disebut Diya’uddin, karena ia mempunyai kelebihan dalam “menerangi” hati dan pikiran para pembela aqidah Islamiyah, dan karena itu tokoh-tokoh Ahl al-Sunnah dapat menangkis serangan dari para pengikut “golongan sesat” yang telah terjerumus dalam kesesatan. Selain itu, ia juga bergelar al-Ma’ali, karena ilmunya mengenai masalah-masalah ke-Tuhanan (teologi) dipandang cukup mendalam dan kesungguhannya ke arah kejayaan agamanya. Kepandaian berargumentasi dalam mengungguli mitra dialognya dalam usaha menegakkan kebenaran dan membasmi kebatilan.
Masa kecil imam Al-Juwaini sangat ketat dalam pendidikan agama dan seperti biasa beliau juga mendapat bimbingan langsung dari ayahandanya. Setelah dewasa beliau berguru kepada beberapa ulama.
Situasi pada zaman al-Juwaini hidup mengalami kesenjangan di segala bidang. Keadaan ini bermula dari lemahnya pemerintah pusat di Baghdad. Pada masa desintegrasi ini, khalifah Abbasiyah yang berkuasa tidak lagi mempunyai wibawa dan kekuasaan mutlak. Negara-negara kecil mulai bermunculan dengan cara melepaskan diri dari kekuasaan pusat.
Ketika masih muda, Imam Haramain belajar fiqh dan hadits kepada ayahnya, Syeikh Abu Muhammad al Juwaini dan kepada Qadi Husein. Setelah itu ia sekolah di madrasah al Baihaqi dan belajar ilmu Kalam pada Abu al Qasim al Iskaf al Asyrafani. Dari sini ia kemudian melanjutkan ke Baghdad dan Hijaz. Empat tahun lamanya ia tinggal dan pulang pergi antara Makkah- Madinah sambil terus menimba Hadits dari para ulama di sana.
Imam Haramain dalam kitab Ghiyats al Ulum (dengan tahqiq Dr Abdul Azhim ad Dib hal. 296-297), mengatakan orang yang bertaklid perlu berhati- hati dan bersikap kritis dalam menentukan orang yang ditaklidinya.
V. PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat, tentu saja tidak luput dari kesalahan dan kekeliriuan dari makalah ini. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun dari kawan-kawan semua sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.